Cara Penanggulangan Aids
Cara penanggulangan Aids upaya
cara penanggulangan Aids upaya pencegahan program cara Penanggulangan Aids
pencegahan HIV/AIDS hanya dapat efektif bila dilakukan dengan komitmen
masyarakat dan komitmen politik yang tinggi untuk mencegah dan atau mengurangi
perilaku risiko tinggi terhadap penularan HIV. Upaya pencegahan meliputi :
Pemberian penyuluhan kesehatan di
sekolah dan di masyarakat harus menekankan bahwa mempunyai pasangan seks yang
berganti-ganti serta penggunaan obat suntik bergantian dapat meningkatkan
risiko terkena infeksi HIV. Pelajar juga harus dibekali pengetahuan bagaimana
untuk menghindari atau mengurangi kebiasaan yang mendatangkan risiko terkena
infeksi HIV. Program untuk anak sekolah harus dikembangkan sedemikian rupa
sesuai dengan perkembangan mental serta kebutuhan mereka, begitu juga bagi
mereka yang tidak sekolah. Kebutuhan kelompok minoritas, orang-orang dengan
bahasa yang berbeda dan bagi penderita tuna netra serta tuna rungu juga harus
dipikirkan.
Satu-satunya jalan agar tidak terinfeksi
adalah dengan tidak melakukan hubungan seks atau hanya berhubungan seks dengan
satu orang yang diketahui tidak mengidap infeksi. Pada situasi lain, kondom
lateks harus digunakan dengan benar setiap kali seseorang melakukan hubungan
seks secara vaginal, anal atau oral. Kondom lateks dengan pelumas berbahan
dasar air dapat menurunkan risiko penularan melalui hubungan seks.
Memperbanyak fasilitas pengobatan bagi pecandu
obat terlarang akan mengurangi penularan HIV. Begitu pula Program “Harm
reduction”yang menganjurkan para pengguna jarum suntik untuk menggunakan metode
dekontaminasi dan menghentikan penggunaan jarum bersama telah terbukti efektif.
Menyediakan fasilitas Konseling HIV dimana
identitas penderita dirahasiakan atau dilakukan secara anonimus serta
menyediakan tempat-tempat untuk melakukan pemeriksaan darah. Faslitas tersebut
saat ini telah tersedia di seluruh negara bagian di AS. Konseling, tes HIV
secara sukarela dan rujukan medis dianjurkan dilakukan secara rutin pada klinik
keluarga berencana dan klinik bersalin, klinik bagi kaum homo dan terhadap
komunitas dimana seroprevalens HIV tinggi. Orang yang aktivitas seksualnya
tinggi disarankan untuk mencari pengobatan yang tepat bila menderita Penyakit
Menular Seksual (PMS).
Setiap wanita hamil sebaiknya sejak awal
kehamilan disarankan untuk dilakukan tes HIV sebagai kegiatan rutin dari
standar perawatan kehamilan. Ibu dengan HIV positif harus dievaluasi untuk
memperkirakan kebutuhan mereka terhadap terapi zidovudine (ZDV) untuk mencegah
penularan HIV melalui uterus dan perinatal. Berbagai peraturan dan kebijakan
telah dibuat oleh USFDA, untuk mencegah kontaminasi HIV pada plasma dan darah.
Semua darah donor harus diuji antibodi HIV nya. Hanya darah dengan hasil tes
negatif yang digunakan. Orang yang mempunyai kebiasaan risiko tinggi terkena
HIV sebaiknya tidak mendonorkan plasma, darah, organ-organ untuk transplantasi,
sel atau jaringan (termasuk cairan semen untuk inseminasi buatan). Institusi
(termasuk bank sperma, bank susu atau bank tulang) yang mengumpulkan plasma,
darah atau organ harus menginformasikan tentang peraturan dan kebijakan ini
kepada donor potensial dan tes HIV harus dilakukan terhadap semua donor.
Apabila mungkin, donasi sperma, susu atau tulang harus dibekukan dan disimpan
selama 3 – 6 bulan. Donor yang tetap negatif setelah masa itu dapat di
asumsikan tidak terinfeksi pada waktu menjadi donor.
Jika hendak melakukan transfusi Dokter harus
melihat kondisi pasien dengan teliti apakah ada indikasi medis untuk transfusi.
Transfusi otologus sangat dianjurkan.
Hanya produk faktor pembekuan darah yang sudah
di seleksi dan yang telah diperlakukan dengan semestinya untuk menonaktifkan
HIV yang bisa digunakan.
Sikap hati-hati harus dilakukan pada waktu
penanganan, pemakaian dan pembuangan jarum suntik atau semua jenis alat-alat
yang berujung tajam lainnya agar tidak tertusuk. Petugas kesehatan harus
menggunakan sarung tangan lateks, pelindung mata dan alat pelindung lainnya
untuk menghindari kontak dengan darah atau cairan yang mengandung darah. Setiap
tetes darah pasien yang mengenai tubuh petugas kesehatan harus dicuci dengan
air dan sabun sesegera mungkin. Kehati-hatian ini harus di lakukan pada semua
pasien dan semua prosedur laboratorium (tindakan kewaspadaan universal).
WHO merekomendasikan pemberian imunisasi bagi
anak-anak dengan infeksi HIV tanpa gejala dengan vaksin-vaksin EPI (EXPANDED
PROGRAMME ON IMMUNIZATION); anak-anak yang menunjukkan gejala sebaiknya tidak
mendapat vaksin BCG. Di AS, BCG dan vaksin oral polio tidak direkomendasikan
untuk diberikan kepada anak-anak yang terinfeksi HIV tidak perduli terhadap ada
tidaknya gejala, sedangkan vaksin MMR (measles-mumps-rubella) dapat diberikan
kepada anak dengan infeksi HIV.
Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya :.
Laporan kepada instansi kesehatan
setempat; mengirimkan laporan resmi kasus AIDS adalah wajib di semua jajaran
kesehatan di AS dan hampir di semua negara di dunia. Sebagian besar negara
bagian di AS menerapkan sistem pelaporan infeksi HIV ini. Laporan resmi mungkin
dibutuhkan di berbagai negara atau provinsi, Kelas 2B (lihat tentang pelaporan
penyakit menular). Isolasi; mengisolasi orang dengan HIV positif secara
terpisah tidak perlu, tidak efektif dan tidak dibenarkan. “Universal
Precaution”(kewaspadaan universal) (q.v) diterapkan untuk semua penderita yang
dirawat. Tindakan kewaspadaan tambahan tertentu perlu dilakukan pada infeksi
spesifik yang terjadi pada penderita AIDS.
Disinfeksi serentak; dilakukan terhadap alat
alat yang terkontaminasi dengan darah atau cairan tubuh dengan menggunakan
larutan pemutih (chlorine) atau germisida tuberkulosidal.
Karantina; tidak diperlukan. Penderita
HIV/AIDS dan pasangan seks mereka sebaiknya tidak mendonasikan darah, plasma,
organ untuk transplantasi, jaringan, sel, semen untuk inseminasi buatan atau
susu untuk bank susu manusia.
Imunisasi dari orang orang yang kontak; tidak
ada.
Investigasi terhadap kontak dan sumber
infeksi; Di AS pasangan seks dari para penderita HIV/AIDS atau pasangan
pengguna jarum suntik bersama, bila memungkinkan, di laporkan sendiri oleh si
penderita. Rujukan oleh petugas di benarkan bila pasien, sesudah dilakukan
konseling, tetap menolak untuk memberitahukan pasangan seks mereka, dan untuk
itu petugas harus betul-betul yakin bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang
membahayakan indeks kasus bila pasangannya diberitahu. Tindakan yang sangat
hati-hati harus dilakukan untuk melindungi kerahasiaan penderita.
Pengobatan spesifik : di sarankan untuk
melakukan diagnosa dini dan melakukan rujukan untuk evaluasi medis. Rujuklah
sumber informasi mutakhir tentang obat yang tepat, jadwal dan dosisnya. Pedoman
pengobatan HIV/AIDS yang selalu diperbaharui setiap saat tersedia pada “CDC
National Clearing house” (1-800-458-5231) dan dapat diakses melalui Clearing
house World Wide Website (http:www.cdcnpin.org).
Sebelum ditemukan pengobatan antiretrovirus
yang relatif efektif, dan tersedia secara rutin di AS sekitar tahun 90-an,
pengobatan yang ada pada waktu itu hanya ditujukan kepada penyakit
“opportunistic” yang diakibatkan oleh infeksi HIV. Penggunaan TMP-SMX oral
untuk tujuan profilaktik, dengan pentamidin aerosol kurang efektif, obat ini di
rekomendasikan untuk mencegah penumonia P. carinii. Semua orang yang terinfeksi
HIV terhadap mereka harus dilakukan tes tuberkulin dan dievaluasi apakah mereka
penderita TBC aktif. Jika diketahui menderita TB aktif, pasien harus diberi
terapi anti tuberkulosa. Jika bukan TB aktif, pasien dengan tes tuberkulin
positif atau yang anergik tetapi baru saja terpajan dengan TB harus diberikan
terapi dengan isoniazid untuk 12 bulan.
Keputusan untuk memulai atau merubah terapi
antiretrovirus harus di pandu dengan memonitor hasil pemeriksaan parameter
laboratorium baik Plasma HIV RNA (viral load) maupun jumlah sel CD4+T dan
dengan melihat kondisi klinis dari pasien. Hasil dari dua parameter ini
memberikan informasi penting tentang status virologi dan imunologi dari pasien
dan risiko dari perkembangan penyakit menjadi AIDS. Sekali keputusan untuk
memberi terapi antiretrovirus diambil, pengobatan harus di lakukan dengan
agresif dengan tujuan menekan virus semaksimal mungkin. Pada umumnya, harus
diawali dengan penggunaan inhibitor protease dan dua inhibitor “non nucleoside
reverse transcriptase”. Regimen lain mungkin digunakan tetapi dianggap kurang
optimal. Pertimbangan spesifik di berikan kepada orang dewasa dan wanita hamil,
dan bagi pasien pasien ini sebaiknya digunakan regimen pengobatan spesifik.
Hingga pertengahan tahun 1999, satu-satunya
obat yang dapat mengurangi risiko penularan HIV perinatal hanya AZT dan di
berikan sesuai dengan regimen berikut: diberikan secara oral sebelum kelahiran,
mulai 14 minggu usia kehamilan dan diteruskan sepanjang kehamilan, diberikan
intravena selama periode intra-partum; diberikan oral bagi bayi baru lahir
hingga berusia 6 minggu. Regimen “chemoprophylactic” ini menurunkan risiko
penularan HIV hingga 66 %. Terapi AZT yang lebih singkat mengurangi risiko
penularan hingga 40%. Dari studi di Uganda, dilaporkan bahwa pada bulan Juli
1999 dosis tunggal nevirapine yang diberikan kepada ibu yang terinfeksi HIV
diikuti dengan dosis tunggal kepada bayi hingga berusia 3 hari, memberi hasil
yang lebih baik dibandingkan dengan kedua terapi diatas. Hanya 13.1 % dari bayi
yang mendapat terapi nevirapine yang terinfeksi HIV, dibandingkan dengan 25.1 %
dari kelompok yang mendapat terapi AZT. Harga Nevirapine kurang dari 4 dollar
satu dosisnya, sehingga prospek untuk melindungi penularan ibu ke anak di
negara berkembang lebih memungkinkan di era milinium ini.
Namun, kurang tersedianya
fasilitas tes HIV dan jasa konsultasi bagi wanita hamil di negara-negara
berkembang yang termiskin di Afrika tetap merupakan sebuah tantangan yang
berat. Disamping itu kurang tersedianya pengobatan anti HIV bagi orang dewasa
membuat angka anak-anak yang menjadi yatim-piatu bertambah di negara-negara
ini.
Penanganan tenaga kesehatan yang
sehari-harinya terpajan darah dan cairan tubuh yang mungkin mengandung virus
HIV sangat kompleks. Sifat pajanan dan faktor-faktor seperti kemungkinan hamil
dan strain HIV yang resisten terhadap obat harus dipertimbangkan sebelum
Profilaksis HIV pasca pemajanan (Postexposure prophylaxis = PEP) di berikan.
Akhir tahun 1999, pemberian PEP yang dianjurkan termasuk pemberian regimen
dasar selama 4 minggu yang terdiri dari 2 jenis obat (zidovudine dan lamivudine)
untuk semua jenis pemajanan HIV, termasuk juga regimen yang telah dikembangkan,
dengan tambahan protease inhibitor (indinavir atau nelfinavir) yang ditujukan
bagi orang yang terpajan kuman HIV yang keberadaannya membuat mereka mempunyai
risiko tinggi tertular atau utnuk mereka yang diketahui atau dicurigai resisten
terhadap satu atau lebih obat antiretroviral yang direkomendasikan untuk PEP.
Institusi pelayanan kesehatan seharusnya mempunyai pedoman yang mempermudah dan
memberikan akses yang tepat untuk perawatan pasca pemajanan bagi petugas
kesehatan dan pengembangan sistem pencatatan dan pelaporan peristiwa pemajanan.
Penanggulangan wabah – HIV saat ini sudah pandemik, dengan jumlah
penderita yang sangat besar di laporkan di Amerika, Eropa, Afrika dan Asia
Tenggara. Lihat 9A, diatas untuk rekomendasi.
Implikasi bencana – Petugas emergensi harus mengikuti prosedur
kewaspadaan universal, jika sarung tangan lateks tidak tersedia dan permukaan
kulit kontak dengan darah, harus dicuci sesegera mungkin. Masker, kacamata
pelindung dan pakaian pelindung di sarankan untuk dipakai ketika melakukan
tindakan yang bisa menyebabkan semburan atau percikan darah atau cairan tubuh.
Transfusi untuk keadaan darurat sebaiknya menggunakan darah donor yang telah
diskrining terhadap antibodi HIV, jika uji saring tidak mungkin dilakukan maka
donasi sebaiknya di terima hanya dari donor yang tidak mempunyai perilaku yang
memungkinkan terinfeksi oleh HIV, dan lebih disukai donor yang sebelumnya
terbukti negatif untuk antibodi HIV.
Tindakan Internasional – Program pencegahan dan pengobatan global
dikoordinasi oleh WHO yang dimulai pada tahun 1987. Sejak tahun 1995, program
AIDS global dikoordinasikan oleh UNAIDS. Sebenarnya semua negara di seluruh
dunia telah mengembangkan program perawatan dan pencegahan AIDS. Beberapa
negara telah melembagakan keharusan pemeriksaan AIDS atau HIV untuk masuknya
pendatang asing (terutama bagi mereka yang meminta visa tinggal atau visa yang
lebih panjang, seperti visa belajar atau visa kerja) WHO dan UNAIDS belum
mendukung tindakan ini
By oktra fitra
0 komentar:
Posting Komentar