Menerapkan Displin Anak

Karakter disiplin dalam kamus pendidikan disebutkan bahwa discipline memiliki dua arti yaitu, tingkah laku murid yang diterima oleh guru dan hadiah atau hukuman dan atau melalui perkuatan penghargaan timbal balik dan hubungan yang saling menguntungkan. Dan arti kedua adalah suatu bidang formal pengetahuan manusia dan yang dicari seperti geografi, biologi, teknik dan sebagainya yang secara sistemaatis diselidiki dan dipelajari dengan jurnal belajar sendiri, asosiasi profesional dan tidak diragukan lagi merupakan satu induk dari sub disiplin ilmu (Penggidaej, 1995:67).

Disiplin tak lain ialah peraturan tata tertib, yang dilakukan dengan tegas dan keras. Tidak saja disiplin itu menghendaki dilaksanakannya segala peraturan dengan teliti dan murni, sampai dalam hal-hal yang kecil-kecil, tak boleh menyimpang sedikitpun, tetapi disiplin menghendaki pula adanya sanksi, yakni kepastian akan keharusan dijatuhkannya hukuman kepada  siapapun, yang melanggar atau mengabaikan peraturan yang sudah ditetapkan. Pada umumnya sanksi  itu dilakukan secara keras dan mutlak, boleh ditawar (Dewantara, 1962:453).

Disiplin pada hakikatnya merupakan salah satu unsur penting dalam keseluruhan perilaku dan kehidupan baik secara individual maupun kelompok. Dengan disiplin, perilaku seseorang individu atau kelompok akan lebih serasi, selaras, dan seimbang dengan tuntutan ketentuan yang berlaku sehingga dapat menunjang terwujudnya kualitas hidup yang lebih bermakna.

Disiplin mempunyai kaitan yang erat dengan berbagai masalah psikologi dalam keluarga. Anak yang dibesarkan dalam suasana yang kurang disiplin akan berkembang menjadi orang yang kurang atau tidak disiplin dalam perilaku kehidupannya. Dan sebaliknya anak yang dibesarkan dalam suasana yang sedemikian rupa didasari oleh pendidikan kedisiplinan yang sehat, akan mampu mengembangkan pribadi. Pribadi yang berkembang sehat penuh disiplin. Disiplin mengandung arti sebagai suatu sikap menghormati, menghargai, dan mentaati segala peraturan disiplin sering dikaitkan dengan “hukuman”, dalam arti disiplin diperlukan untuk menghindari terjadinya hukuman karena adanya pelanggaran terhadap suatu peraturan tertentu (Surya, 2003:130-131). Disiplin berasal dari kata yang sama dengan “discipline”, yakni seorang yang belajar dari atau secara sukarela mengikuti seorang pemimpin (Hurlock, 1978:82).

Agar disiplin dapat ditegakkan, sekurang-kurangnya ada enam unsur yang harus diwujudkan antara lain:
a.    Aturan sebagai pola-pola rujukan berperilaku. Aturan merupakan jaminan sebagai dasar konsep moral dalam berperilaku secara tepat.
b.    Hukuman sebagai bentuk penghargaan atas suatu pencapaian perilaku tertentu yang dipandang sesuai dengan yang diharapkan.
c.    Konsistensi, yaitu derajat keseragaman atau ketetapan dalam mewujudkan perilaku, pelaksanaan aturan, pemberian hukuman, dan pemberian ganjaran (Surya, 2003:131-132)
d.    Menghalangi pengulangan tindakan yang tidak diinginkan oleh masyarakat.
e.    Mendidik, sebelum anak mengerti peraturan, mereka dapat belajar bahwa tindakan tertentu benar dan yang lain salah dengan mendapat hukuman karena melakukan tindakan yang salah dan tidak menerima hukuman bila mereka melakukan tindakan yang diperbolehkan.
f.    Motivasi untuk menghindari perilaku yang tidak diterima masyarakat (Hurloc, 1978:87).
Fungsi disiplin dibedakan menjadi dua yaitu fungsi disiplin yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat.

Fungsi disiplin yang bermanfaat, antara lain:
a.    Untuk mengajar anak bahwa perilaku tertentu selalu akan diikuti hukuman, namun yang lain akan diikuti pujian.
b.    Untuk mengajar anak suatu tindakan penyesuaian yang wajar, tanpa menuntut konformitas yang berlebihan .
c.    Untuk membantu anak mengembangkan pengendalian diri dan pengarahan anak mengembangkan hati nurani untuk membimbing tindakan mereka.

Fungsi yang tidak bermanfaat:
a.    Untuk menakut-nakuti anak
b.    Sebagai pelampiasan agresi orang yang mendisiplin

Tujuan utama pendidikan yang selama ini terabaikan atau gagal tercapai adalah pembentukan karakter (character building). Pengabaian atau kegagalan ini dapat dilihat dari tingginya angka kenakalan remaja dari tahun ke tahun. Anak-anak tidak sopan kepada orang tua dan orang yang lebih tua, kurang peduli terhadap sesama, kata-kata kotor yang jauh dari etika, perselisihan dan tawuran yang dengan sangat cepat mudah terjadi, pergaulan bebas, merokok dan narkoba, adalah pemandangan umum yang hampir pasti kita temukan di mana saja kita menemukan remaja.

Dalam pandangan Islam, pembentukan karakter (character building) ini sudah sangat jelas ditegaskan oleh Rasulullah SAW sebagai misi kerasulannya. Bahkan dalam kajian lebih dalam yang dilakukan para ulama klasik dan kontemporer disimpulkan  bahwa akhlak mulia sebagai hasil dari character building adalah jantung ajaran Islam. Maka tak diragukan lagi pembentukan akhlak mulia merupakan tujuan tertinggi bagi setiap lembaga pendidikan Islam. Namun dalam kenyataannya, banyak lembaga pendidikan Islam baik yang berlabel pesantren maupun madrasah tidak menunjukkan hal menggembirakan dalam masalah ini.

Agar pembentukan karakter yang ada di Panti Asuhan dapat ditegakkan, ada teknik-teknik yang harus dilakukan antara lain:
a.    Teknik pertama, ialah teknik otoriter, yaitu cara membentuk disiplin dengan berpusat kepada pemegang disiplin seperti orang tua, guru, pemimpin, orang dewasa.
b.    Teknik kedua ialah teknik permisif (membiarkan), yaitu cara mengembangkan disiplin dengan membiarkan anak tanpa adanya tuntunan berperilaku.
c.    Teknik ketiga ialah teknik demokratik, yaitu teknik pengembangan disiplin melalui peran serta semua pihak terutama anak atau subyek yang bersangkutan.

Menurut Berkowitz (1998), kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar (cognition) menghargai pentingnya nilai-nilai karakter (valuing). Misalnya seseorang yang terbiasa berkata jujur karena takut mendapatkan hukuman, maka bisa saja orang ini tidak mengerti tingginya nilai moral dari kejujuran itu sendiri. Oleh karena itu, pendidikan karakter memerlukan juga aspek emosi. Menurut Lickona (1991), komponen ini adalah disebut “desiring the good” atau keinginan untuk berbuat baik.

Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang. Menurut Freud kegagalan penanaman kepribadian yang baik di usia dini ini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Kesuksesan orang tua membimbing anaknya dalam mengatasi konflik kepribadian di usia dini sangat menentukan kesuksesan anak dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak (Erikson, 1968).

Thomas Lickona -seorang profesor pendidikan dari Cortland University mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda jaman yang harus diwaspadai karena jika tanda-tanda ini sudah ada, maka bahwa sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda yang dimaksud adalah :
a.    Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja,
b.    Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk,
c.    Pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan,
d.    Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas,
e.    Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk,
f.    Menurunnya etos kerja,
g.    Semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru,
h.    Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara,
i.    Membudayanya ketidakjujuran, dan
j.    Adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.

Jika dicermati, ternyata kesepuluh tanda jaman tersebut sudah ada di Indonesia. Selain sepuluh tanda-tanda jaman tersebut, masalah lain yang tengah dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah sistem pendidikan dini yang ada sekarang ini terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa). Padahal, pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi fungsi otak kanan. Mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan karakter pun (seperti budi pekerti dan agama) ternyata pada prakteknya lebih menekankan pada aspek otak kiri (hafalan, atau hanya

sekedar “tahu”). Padahal, pembentukan karakter harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan yang melibatkan aspek “knowledge, feeling, loving, dan acting”. Pembentukan karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan seseorang menjadi body builder (binaragawan) yang memerlukan “latihan otot-otot akhlak” secara terus-menerus agar menjadi kokoh dan kuat.

Pada dasarnya, anak yang kualitas karakternya rendah adalah anak yang tingkat Perkembangan emosi-sosialnya rendah, sehingga anak beresiko besar mengalami kesulitan dalam belajar, berinteraksi sosial, dan tidak mampu mengontrol diri. Mengingat pentingnya penanaman karakter di usia dini dan mengingat usia prasekolah merupakan masa persiapan untuk sekolah yang sesungguhnya, maka penanaman karakter yang baik di usia prasekolah merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan.

Thomas Lickona (1991) mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral - yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya. Pengertian ini mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dilakukan.

Mendisiplinkan peserta didik dengan kasih sayang dapat dilakukan secara demokrasi, yakni dari, oleh dan untuk peserta didik.

Resiman and Payne (1987:239-241) mengemukakan strategi umum mendisiplinkan peserta didik sebagai berikut:
a.    Konsep diri (self-concept); strategi ini menekankan bahwa konsep-konsep diri peserta didik merupakan faktor penting dari setiap perilaku.
b.    Ketrampilan berkomunikasi (communication skill); guru harus memiliki ketrampilan komunikasi yang efektif agar mampu menerima semua perasaan, dan mendorong timbulnya kepatuhan peserta didik.
c.    Konsekuensi-konsekuensi logis dan alami (natural and logical consequent); perilaku-perilaku yang salah terjadi karena peserta didik telah mengembangkan kepercayaan yang salah terhadap dirinya. Hal ini mendorong munculnya perilaku-perilaku salah. (Mulyasa, 2005:171)





Posted By : Kurnia Puji Astuti
Email : nhiaastuti8@gmail.com
Blog : askephealthy2015.blogspot.com
Share on Google Plus

About Nhia

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar