
Scabies merupakan penyakit kulit
yang disebabkan oleh serangan kutu Sarcoptes scabiei, yang
menginfeksi permukaan kulit seseorang, kemudian membuat lubang yang bersifat
mikroskopis dan menimbulkan rasa gatal sampai timbul lesi atau luka. Penyakit
ini termasuk penyakit yang jamak terjadi di Indonesia, terutama tempat yang
ditengarai memiliki kualitas sanitasi dan lingkungan yang rendah. Kutu ini
lebih sering menyerang secara aktif di malam hari, sehingga ketika malam
menjelang tentu akan mengganggu tidur seorang penderita. Penularan penyakit ini
tak jauh berbeda dengan macam penyakit kulit lainnya, yakni lewat penggunaan
pakaian dan handuk bersama, kontak kulit dengan penderita dan bak mandi yang
dimanfaatkan secara masal.
Sebagaimana mitos-mitos yang muncul di kalangan
pesantren, terutama pesantren besar, bahwa kudis merupakan “stempel resmi”
seorang santri, bahwa ia telah siap untuk menempuh tingkatan yang lebih tinggi
dalam pembelajaran holistik yang ada di pesantren. Banyak kalangan kiai
menyebutkan, “Kalau kamu sudah gatal-gatal di pesantren, tandanya kamu sudah
betah dan ilmu akan lebih mudah masuk,”. Walaupun argumen ini belum bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tapi berdasarkan pengalaman penulis, dhawuh para
kiai ini banyak benarnya. Beliau menganggap bahwa penyakit kudis yang diderita
santri adalah tanda awal turunnya berkah.
Berkah, Santri, dan Kudis
Secara bahasa kata berkah berasal dari lafal
bahasa Arab barakah, yang memiliki akar kata dari baraka yang
makna umumnya adalah melimpah. Dalam kitab-kitab tasawuf, berkah diartikan
sebagai ziyādat al khair, yakni bertambahnya kebaikan dalam
segala hal.
Nabi Muhammad bersabda, “Yang disebut kaya
bukanlah kaya harta, tetapi kekayaan sebenarnya adalah kekayaan hati”.
Sikap ini amat diutamakan di pesantren, sehingga apapun yang terjadi, berkah
adalah nomor satu. Kisah-kisah mengenai keberkahan seorang santri dalam
ketaatannya terhadap kyai sudah populer di kalangan pesantren. Berkah dalam
ilmu adalah harga mati. Berkah bisa dipersepsikan sebagai banyaknya manfaat
suatu hal yang kian bertambah setiap hari disertai perasaan merasa cukup dengan
keadaan yang ada. Kehidupan santri yang sederhana menjadikan mereka untuk
selalu yakin bahwa apapun yang mereka dapatkan di pesantren adalah sebuah
proses yang baik dalam pembelajaran, termasuk perihal penyakit kudis ini.
Apakah memang kudis berkolerasi lurus dengan berkah tersebut?
Seorang santri lazimnya akan sering tidur dan
makan bersama, menggunakan kamar mandi yang memiliki volume besar seperti
kolam, maupun menggunakan pakaian maupun handuk milik teman secara sukarela. Di
satu sisi, ini adalah sikap tenggang rasa yang amat mulia dan pembelajaran
semacam ini amat sulit dicari di sekolah-sekolah umum. Namun di sisi lain,
beberapa hal dia atas menyebabkan penularan penyakit kulit, yang salah satunya
adalah kudis, dengan mudah menjangkiti santri. Pergaulan antar sesama yang
rapat dan dekat, menjadikan berbagai kontak yang memungkinkan penularan
penyakit ini cepat terjadi.
Ternyata dhawuh pengasuh
pesantren mengenai keberadaan kudis santri memiliki jawaban secara sosiologis
maupun psikologis. Jika seorang santri telah merasakan penyakit kulit ini,
berarti dia telah menyusun suatu hubungan sosial yang lebih dekat dengan
santri-santri lain, yang mungkin juga seorang penderita. Keakraban antar
pribadi atau kelompok ini, menandakan adanya kenyamanan dalam pergaulan, dan
ini akan sangat mendukung proses pembelajaran kedepannya. Secara psikologis,
seorang santri baru yang menderita penyakit kulit akan dilatih untuk bersabar
menghadapi penyakitnya, bersikap lebih dewasa untuk mengatasi masalah-masalahnya
sendiri dan proses instropeksi mengenai kebersihan pribadi. Santri yang lebih
senior, biasanya sudah tidak terganjal masalah penyakit kulit yang lebih
kompleks sebagaimana santri baru.
Pertanyaannya, apakah memang seorang santri
mesti terkena penyakit kudis ini? Mengingat di zaman ini infrastruktur
pesantren sudah jauh lebih baik dibandingkan dahulu baik dalam hal sanitasi
maupun fasilitas kesehatan, sehingga semestinya sudah mendapat perhatian yang
lebih memadai.
Apakah santri tetap akan identik dengan penyakit kudis dalam
prosesnya menuju keberkahan ilmu?
Sebagai seorang santri penulis merasa bersyukur pernah merasakan
kudis dalam masa belajar di pesantren. Semoga para kiai dan masyayikh senantiasa
dilimpahi keikhlasan dalam membimbing santri dan masyarakat. Wallahu
a’lam.
By : Ana Tri Oktaviana
Email : Anarereviana@gmail.com
Blog : Anaoktaviana10.blogspot.com
Web : hhtp://akperkabpurworejo.ac.id/
0 komentar:
Posting Komentar