Perubahan-perubahan sosial yang cepat sebagai konsekuensi
dari modernisasi dan kemajuan teknologi dapat membuahkan akibat sampingan
(dampak) pada taraf kesehatan manusia, khususnya kesehatan jiwa, yang dapat
dilihat dari cara berpikir, berperasaan dan berperilaku yang sering kali tidak
sesuai dengan nilai moral, kaidah agama dan asas-asas kesehatan jiwa yang
merugikan manusia itu sendiri.
Hal tersebut disebabkan karena dalam masyarakat yang sedang
menjalani proses modernisasi telah terjadi pergeseran/perubahan nilai budaya
dan kehidupan yang dapat mengakibatkan konflik-konflik psikososial.
Perubahan-perubahan sosial dengan segala perubahan nilai
kehidupan, antara lain dapat dilihat dari hal-hal berikut:
Pola hidup masyarakat dari sosial-religius cenderung berubah
ke arah pola individual materialistik.
Pola hidup sederhana dan produktif cenderung ke arah pola
konsumtif (boros).
Struktur kekeluargaan “extended family” (keluarga besar)
cenderung ke arah pola “nuclear family”, (keluarga kecil) bahkan sampai kepada
“single parent family “.
Hubungan kekeluargaan (ayah/suami – ibu/isteri – anak) yang
semula erat (family tight) cenderung menjadi longgar (family loose).
Nilai-nilai tradisional masyarakat dan agama, cenderung
berubah menjadi masyarakat modern yang bercorak “sekuler” dan berpola
“permissive society ” (serba boleh).
Lembaga perkawinan mulai diragukan, dan masyarakat cenderung
untuk menempuh “hidup bersama”.
Ambisi karier dan materi dapat mengganggu hubungan antar
sesama, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
Salah satu dampak modernisasi tersebut adalah terancamnya
lembaga perkawinan dan tata cara pergaulan yang semakin menyimpang dari
kaidah-kaidah agama: misalnya, hubungan seksual di luar nikah (extra marital),
hidup bersama (kumpul kebo), penyimpangan seksual dan lain sebagainya.
Perkawinan bukanlah semata-mata guna pemenuhan kebutuhan
biologis, melainkan yang utama adalah pemenuhan manusia akan kebutuhan
afeksional (kasih sayang), yaitu kebutuhan mencintai dan dicintai, kasih
sayang, rasa aman dan terlindung, dihargai, diperhatikan dan sebangsanya.
Demikian pula halnya dengan kebutuhan materi, bukanlah merupakan landasan utama
untuk mencapai kebahagiaan.
Bila suatu perkawinan itu hanya didasarkan ikatan
fisik/biologis semata, maka dengan bertambahnya usia ikatan perkawinan itu akan
rapuh. Demikian pula halnya bila ikatan perkawinan itu hanya berdasarkan kepada
materi saja juga tidak akan menjamin kebahagiaan. Namun, bila ikatan perkawinan
itu pilar utamanya adalah ikatan afeksional, maka kebahagiaan hidup perkawinan
yang didambakan itu akan dihayati hingga relatif kekal.
Perkawinan
Perkawinan adalah suatu ikatan antara pria dan wanita
sebagai suami dan isteri berdasarkan hukum (UU), hukum agama atau adat istiadat
yang berlaku.
Diciptakan pria dan wanita, antara keduanya saling tertarik
dan kemudian kawin. Porses ini mempunyai dua aspek, yaitu aspek biologis agar
manusia berketurunan dan aspek afeksional agar manusia merasa tenang dan
tenteram berdasarkan kasih sayang (security feeling).
Ditinjau dari segi kesehatan jiwa, suami/isteri yang terikat
dalam suatu perkawinan tidak akan mendapatkan kebahagiaan, manakala
perkawinannya hanya berdasarkan pemenuhan kebutuhan biologis dan materi semata
tanpa terpenuhinya kebutuhan afeksional (kasih sayang).
Faktor afeksional yang merupakan pilar utama bagi stabilitas
suatu perkawinan/rumah tangga, merupakan kebenaran dari firman Allah SWT
sebagai¬mana termaktub dalarn Al-Quran surat Ar-Rum ayat 21:
Artinya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan di antara kamu rasa kasih sayang.
Sesungguhnya pada hal yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berpikir.”
Betapa pentingnya faktor afeksional ini bagi pembinaan
perkawinan / keluarga yang sehat dan bahagia (keluarga sakinah), dapat dikaji
dari firman Allah WT sebagaimana termaktub dalam Al-Quran surat As-Syuura ayat
23:
Artinya:
“Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruan-Ku
kecuali kasih sayang dalam keluargamu.”
Dalam pengalaman praktek konsultasi perkawinan dan
studi/penelitian yang telah dilakukan, terbukti bahwa pada umumnya berbagai
bentuk krisis perkawinan/rumah tangga yang terjadi disebabkan karena faktor
afeksional (kasih sayang) antar anggota keluarga (suami isteri/ayah ibu dan
anak) telah terabaikan.
Disfungsi Perkawinan
Salah satu dampak dari modernisasi adalah semakin
meningkatnya stres Psikososial, dan tidak semua orang dapat atau mampu
mengatasi dan menyesuaikan diri, yang pada gilirannya taraf kesehatan jiwanya
akan terganggu dan jatuh sakit.
Strespsikososial yang terjadi dalam masyarakat modern dapat
pula mengakibat¬kan terganggunya fungsi perkawinan, yaitu hilangnya faktor
afeksional tadi. Keadaan demikian disebut sebagai “disfungsi perkawinan “,
yaitu suatu kondisi hidup perkawinan yang tiada lagi rasa kasih sayang di
antara sesama anggda keluarga.
Yang paling menderita sebagai dampak disfungsi perkawinan
adalah anak¬-anak. Pada keluarga yang mengalami disfungsi perkawinan,
perkembangan anak-anak akan mengalami gangguan kepribadian pada perkembangan
jiwa anak yang, akan muncul bila anak telah menginjak dewasa. Salah satu bentuk
gangguan kepribadian itu adalah kepribadian anti sosial (kenakalan
remaja/juvenile delinquency).
Pada keluarga yang mengalami disfungsi perkawinan, maka
resiko anak untuk menjadi berperilaku anti sosial jauh lebih tinggi daripada
anak yang hidup dalam keluarga yang harmonis.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Michael Rutter (1971)
yang berjudul “Parent Child Separation, Psychological Effects on the Children,”
telah membuktikan bahwa anak-anak yang dibesarkan dalam kondisi keluarga yang
disebutkan sebagai disfungsi perkawinan, akan mempunyai resiko jauh lebih
tinggi untuk menjadi anak nakal (anti sosial) daripada anak-anak yang
dibesarkan dalam keluarga yang relatif stabil.
Beberapa contoh keluarga yang mengalami disfungsi perkawinan
antara lain:
Kedua orang tua bercerai (divorce).
Kedua orang tua hidup berpisah (separate).
Kedua orang tua sering bertengkar.
Salah satu orang tua meninggal.
Salah satu orang tua menderita sakit kronik.
Orang tua yang terlalu sibuk dan jarang di rumah.
Salah satu orang tua mempunyai kelainan kepribadian.
Suasana rumah tangga yang penuh ketegangan dan ketiadaan
kehangatan.
Dari apa yang telah diuraikan di atas, maka dapatlah
dipahami betapa pentingnya faktor afeksional bagi mempertahankan hidup
perkawinan yang sehat dan bahagia (sakinah) dan mencegah terjadinya disfungsi
perkawinan yang dampaknya amat tidak baik bagi perkembangan jiwa anak.
Oleh para ahli disebutkan bahwa sedikitnya ada dua faktor
yang dominan pada kasus-kasus “disfungsi keluarga” ini yaitu faktor kepribadian
dari masing-masing, pasangan dan faktor psikososial. Dan para ahli pun berupaya
membuat sejumlah kriteria mengenai apa yang dinamakan keluarga yang bahagia dan
sehat itu, disamping kriteria yang telah “baku” dari adat istiadat maupun
agama.
Kepribadian
Faktor kepribadian memegang peranan penting bagi
keberhasilan suatu keluar¬ga. Diakui bahwa tiada seorang pun yang sempurna,
namun setidak-tidaknya mendekati apa yang telah disepakati bersama, yaitu apa
yang dinamakan kcpribadian atau jiwa yang sehat itu.
Adapun yang dimaksud dengan kepribadian menurut kesehatan
jiwa adalah: “Segala corak kebiasaan manusia yang terhimpun dalam dirinya, yang
digunakan untuk bereaksi serta menyesuaikan diri terhadap segala rangsangan,
baik yang timbul dari lingkungannya (dunia luar) maupun yang datang dari
dirinya sendiri (dunia dalam), sehingga corak dan kebiasaan itu merupakan suatu
kesatuan fungsional yang khas untuk individu itu.”
Organisasi kesehatan sedunia (WHO) telah merumuskan
bagaimana suatu kepribadian itu dikatakan sehat dan mantap, yaitu apabila
seseorang itu:
Mampu untuk memperoleh penyelesaian-penyelesaian secara
efektif, efisien dan positif dalam situasi hidup yang berubah-ubah; serta mampu
mencernakan secara luas pengetahuan yang diperolehnya dalam pen¬didikan (balk
formal maupun non formal), serta pengalaman dalam kehidupan di masyarakat.
Mampu untuk menyesuaikan diri secara konstruktif (membangun)
pada kenyataan, meskipun kenyataan itu tidak menyenangkan baginya.
Secara relatif, bebas dari rasa tegang dan cemas maupun
depresi (tertekan).
Menjuruskan rasa permusuhan pada penyelesaian yang kreatif
dan konstruktif.
Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran bagi
masa yang akan datang.
Memperoleh kepuasan dari hasil usahanya.
Merasa lebih puas memberi daripada menerima.
Berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong dan
saling memuaskan/tidak mengecewakan.
Mempunyai daya kasih sayang yang besar.
Perkembangan/pembentukan kepribadian seseorang tidaklah
dengan begitu saja, melainkan merupakan perpaduan antara faktor konstitusi
biologik (keadaan jasmani), psiko edukatif di mana pengaruh orang amat penting
dan kondisi lingkungan sosial kultural.
Keluarga Sehat dan Bahagia (Sakinah)
Banyak orang berpendapat bahwa kebahagiaan suatu perkawinan
terutama tergantung pada hubungan suami isteri semata yang menitikberatkan
kepada faktor cinta dan pemenuhan biologik. Hakikat suatu perkawinan sebenarnya
terletak sampai berapa jauh kemampuan masing-masing pasangan untuk saling
berintegrasi dari dua kepribadian suami dan isteri. Sampai berapa jauhkah
kemampuan adaptasinya.
Bekal “cinta” dan kepuasan biologik/seksual pada awal suatu
perkawinan, sering kali tidak berlangsung lama dikarenakan masing-masing
pasangan tidak mampu untuk saling berintegrasi dan beradaptasi untuk jangka
waktu yang relatif lama, bahkan kalau mungkin hingga akhir hayat.
Lebih dari dua puluh tahun masyarakat Barat telah mencoba
pola hidup baru untuk mencari kebahagiaan sesuai dengan modernisasi yang
bercorak individual materialistikdan sekular. Mereka tidak menginginkan hidup
perkawinan itu terikat dengan tradisi dan agama; mereka menginginkan kebebasan
sesuai dengan hak-hak asasi perorangan (individual).
Namun, apa yang terjadi? Ternyata mereka menemukan
kebahagiaan yang semu belaka. Mereka tidak menemukan kebahagiaan dalam
keluarga, hingga banyak keluarga yang mengalami disfungsi perkawinan dan
berakhir dengan berantakan (broken home). Lambat laun masyarakat Barat
meragukan keberadaan lembaga perkawinan itu sendiri.
Apa yang dapat disaksikan dalam masyarakat Barat adalah
antara lain:
Pergaulan bebas (hubungan seksual sebelum nikah dan di luar
nikah) meningkat.
Kehamilan di luar nikah meningkat.
Lebih senang hidup bersama (kumpul kebo) daripada menikah
resmi.
Angka-angka perceraian (divorce) dan pisah (separation)
semakin meningkat.
Ketidaksetiaan (penyelewengan) suami/isteri semakin banyak.
Semakin banyak kenakalan remaja dan penyalahgunaan narkotika.
Dan lain sebagainya
Masyarakat Barat telah kehilangan pola dan identitas hidup
perkawinan. Sehingga paraahli banyak meragukan bagaimana kelak masa depan
kehidupan perkawinan / keluarga, bentuk bagaimanakah yang akan terjadi? Ikatan
perkawinan / keluarga di negara-negara Barat (terutama di Amerika Serikat)
telah semakin longgar dan rapuh.
Sehubungan dengan kehidupan perkawinan dan keluarga yang
sedang melanda masyarakat Amerika Serikat dewasa ini, maka dua ahli yaitu Prof.
Nick Stinnet dan Prof. John DeFrain telah melakukan studi dan penelitian yang
berjudul “The National Study on Family Strengths”) guna mencari jawaban dan
terapi (pengobatan) terhadap gejala yang tidak sehat ini. Dari hasil
penelitiannya terhadap keluarga-keluarga Amerika, kedua sarjana tersebut
mendapatkan rumusan untuk menjadi syarat suatu keluarga yang disebut Keluarga
bahagia dan sehat (happy and healthy family), yaitu paling sedikit harus
terpenuhi beberapa kriteria berikut, yaitu:
Kehidupan beragama dalam keluarga,
Tersedia waktu untuk bersama sesama anggota keluarga,
Mempunyai komunikasi yang baik antar anggota keluarga,
Saling harga-menghargai sesama anggota keluarga,
Masing-masing anggota keluarga terikat satu dengan lainnya
dalam ikatan keluarga sebagai ikatan kelompok, dalam mengatasi berbagai krisis,
sepakat untuk menyelesaikan secara positif dan konstruktif.
Uraian lebih jauh dari kriteria-kriteria tersebut adalah
sebagai berikut:
Mempunyai Landasan Agama
Masyarakat modem akhimya menyadari, bahwa agama merupakan
unsur fun¬damental bagi kebahagiaan suatu perkawinan rumah tangga. Kehidupan
beragama (penghayatan dan pengamalannya) dalam rumah tangga sangat dianjurkan.
Karena hanya dalam agamalah terkandung nilai-nilai moral yang sifatnya abadi.
Bila kita mengkaji masalah perkawinan itu sendiri, sebenarnya perkawinan adalah
suatu ikatan antara dua insan yang bersifat keagamaan, ketimbang suatu ikatan
yang bersifat keduniaan.
Selalu Bersama Keluarga
Dalam masyarakat modem, ikatan keluarga sering mudah
longgar. Suami maupun isteri masing-masing dengan kesibukannya jarang mempunyai
waktu untuk bersama, sehingga merupakan faktor yang kondusif (mendukung) bagi
terjadinya kesenjangan, tidak saja antara suami dan isteri, tetapi juga antara
orang tua dan anak.
Oleh karena itu sesibuk-sibuknya seorang suami, adakanlah
waktu untuk keluarga, untuk anak-anak, dan terutama untuk keluarga. Ciptakanlah
suatu acara di mana masing-masing anggota keluarga dapat bersama turut serta,
di samping penggunaan waktu khusus bagi suami isteri yang lebih bersifat
pribadi (tanpa anak dan anggota keluarga lainnya).
Mempunyai Pola Komunikasi yang Baik
Krisis rumah tangga ataupun kesenjangan yang terjadi antara
suami dan isteri, sering kali terjadi disebabkan karena tidak adanya komunikasi
yang baik antara keduanya. Komunikasi yang terjadi sering kali satu arah dan
instruktif sifatnya (dari ayah/suami kepada isteri dan anak-anaknya). Bila
demikian halnya, maka kondisi demikian itu merupakan faktor yang kondusif bagi
terjadinya disfungsi/disharmoni keluarga.
Buatlah komunikasi yang bersifat dua arah, demokratis dan
emosional (dengan perasaan) yang hangat antara suami, isteri dan anak-anak.
Saat makan bersama (makan pagi, makan malam ataupun makan di luar) dapat
dijadikan sarana komunikasi. Demikian pula shalat berjamaah antara ayah sebagai
imam dan isteri serta anak-anak sebagai makmumnya di waktu Subuh, Maghrib atau
Isya. Selepas shalat berjamaah itu, komunikasi keluarga dapat berjalan. Dengan
demikian, bila terjadi suatu masalah, cepat dapat ditanggapi dan diselesaikan,
hingga tidak ter-pendam yang pada gilirannya bisa eksplosif (meledak) dan
merugikan semua pihak.
Saling Menghargai
Saling harga-menghargai antara suami isteri, demikian juga
pada anak-anak, amatlah dianjurkan bagi hubungan yang baik antara sesama
anggota keluarga. Apa yang telah diperbuat oleh isteri ataupun anak-anak berupa
sesuatu yang baik, meskipun nampaknya tidak berarti di mata suami, berikanlah
atensi (perhatian) ataupun penghargaan dan support agar yang akan datang dapat
lebih baik. Meman¬dang rendah atau merendahkan sikap isteri, kuranglah
bijaksana. Hal demikian hanya akan membuat rasa kepercayaan diri isteri
berkurang, bahkan bisa hilang sama sekali.
Kejadian yang sering dialami adalah sang suami tidak
berkomunikasi dengan isterinya karena perbedaan umur atau pendidikan yang cukup
jauh. Pembicaraan sang suami sering tidak “nyambung” dengan isterinya, sehingga
sering suami mengatakan bahwa isterinya “telmi” (telat mikir). Bila demikian,
maka kewajiban suaminyalah agar sang isteri mendapatkan pendidikan non-formal,
agar baik penge¬tahuan maupun sikapnya dapat menjaga “standing” (kedudukan)
suami.
Adanya Ikatan Kekeluargaan
Keluarga adalah suatu matriks sosial, suatu
kelompok/organisasi bio-psikososial¬, di mana para anggotanya terikat dengan
suatu ikatan khusus untuk hidup bersama , bukan suatu ikatan yang sifatnya
statis dan membelenggu. Ia merupakan suatu ikatan dinamis yang memungkinkan
para anggota keluarga itu berkemba¬ng dan tumbuh. Oleh karena itu keluarga
sebagai suatu kelompok, perlu dijaga integritas antar anggotanya dengan
komunikasi, pembagian peran, hubungan emosional dan sebagainya.
Perubahan-perubahan sosial sebagai konsekuensi modernisasi
sering kali menyebabkan tali ikatan keluarga menjadi longgar. Dan apabila hal
ini tidak disa¬dari dapat berakibat lebih jauh yang pada gilirannya
masing-masing anggota keluarga itu bercerai-berai (masing-masing berjalan
sendiri-sendiri).
Berpikir Positif Ketika ada Krisis
Adalah suatu hal yang lumrah. Jika suatu saat hunungan
antara suami dan isteri mengalami krisis. Penyebab krisis itu sendiri tidak
selalu datang dari dalam rumah, juga dari luar rumah ataupun dari diri
masing-masing pasangan. Bila terjadi suatu krisis, maka usahakanlah suatu
penyelesaian bersama. Kurang bijaksana kalau saling menyalahkan atau mau menang
sendiri saja. Bilamana persetujuan atau negosiasi antara suami dan isteri tidak
tercapai, lalu mencapai jalan buntu (deadloc¬k), maka jangan ragu-ragu dan
bimbang jika harus berkonsultasi dengan orang profesional (ahli) untuk
mendapatkan suatu “marriage counseling” (nasehat perkawinan) agar krisis
tersebut tidak berlarut dan berkepanjangan yang pada gilirannya dapat
meruntuhkan tiang rumah tangga (broken home family).
Tidaklah mudah membuat perumusan mengenai bagaimana hubungan
per¬kawinan yang baik itu (good marital relationship). Namun, apa yang telah
diuraikan dl muka, kiranya dapat dijadikan pegangan atau ukuran bagi diri kita
masing-masing. Hubungan suami isteri yang serasi, selaras dan seimbang dapat
dijabarkan sebagaimana diutarakan di muka yang menyangkut masalah kepribadian
yang sehat, maupun keluarga bahagia dan sejahtera.
Membentuk keluarga yang sehat dan bahagia (sakinah) ini
penting. Tidak saja untuk kebahagiaan suami dan isteri, namun yang lebih
penting adalah merupakan sarana yang baik untuk pembinaan perkembangan jiwa
anak.
Betapa pentingnya membentuk keluarga sehat dan bahagia
(sakinah).Ia merupakan kewajiban dan tanggung jawab para orang tua, demi masa
depan anak-anak yang merupakan generasi penerus dapat dikaji dari berbagai
hadis Nabi Muhammad SAW. Di antaranya adalah sebagaimana diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim: “Didiklah anak-anakmu, sebab mereka dilahirkan untuk hidup
dalam suatu zaman yang berbeda dengan zamanmu. “
Artinya:
“Setiap kamu adalah penanggung jawab yang akan dimintai
per¬tanggungjawaban atas apa yang dipercayakan kepadanya. Dan seorang ayah bertanggung
jawab atas kehidupan keluarganya dan akan dimintai per¬tanggungjawaban atasnya.
Dan seorang isteri bertanggung jawab atas harta dan anak suaminya serta akan
dimintai pertanggungjawaban atasnya. “
Artinya:
‘Jika meninggal seorang anak Adam, maka terputuslah semua
amalannya kecuali tiga perkara yaitu: amal jariah, ilmu yang bermanfaat dan
anak shaleh yang mendoakannya. “
Dari apa yang telah diuraikan di muka, maka jelaslah bahwa
untuk mencapai kondisi keluarga yang sehat dan bahagia atau keluarga sakinah
itu, diperlukan suatu persiapan menjelang perkawinan, yang meliputi persiapan
di bidang fisik, mental dan sosial.
By : Raudya Dwi Tuzzahra
Email : raudyadtuzzahra@gmail.com
Blog : perawatahli89.blogspo.com
Email : raudyadtuzzahra@gmail.com
Blog : perawatahli89.blogspo.com
0 komentar:
Posting Komentar